Anggota Kelompok:   1. ARYASATYA BHAGASKARA (51418142)

                                            2. FARHAN FADHILAH (52418516)

                                            3. HEBRON SAUL FIDILIUS (53418098)

                                            4. JEREMY PIERRE TUMBIO (53418481)

                                            5. RHEVA ANALTHA RAHMADHAN (56418074)                     



1. Fenomena di Bidang Politik

Menjelang Pemilihan Presiden atau Pilpres 2019, perang tanda pagar (tagar) antara pendukung calon presiden mulai berlangsung di media sosial.

Saat ini diketahui ada beberapa tagar yang menggenggama di dunia maya. Di antaranya #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi. Analis Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Jakarta Gun Gun Heryanto menyebut, fenomena ini sebagai perubahan konteks sosial politik yang semakin dinamis. Terutama ketika ada keterbukaan yang sangat erat antara demokrasi di dunia nyata dengan cyber demokrasi.

"Cyber demokrasi ini memang salah satu penandanya adalah ekspresi kebebasan berpendapat, kemudian tentu juga kebebasan untuk punya pilihan-pilihan politik sesuai preferensi pilihan masing-masing, yang enggan diekspresi di dunia digital," ujar Gun Gun dalam diskusi Polemik MNC Trijaya, 'Politik Tagar, Bikin Gempar' di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (4/5/2018).

Gun Gun mengatakan, tagar di media sosial Twitter merupakan salah satunya. Dia melihat tagar itu sebagai ekspresi simbolik dari referensi pilihan masing-masing orang.

"Seperti misalnya ada orang yang tertarik untuk 2019 ganti presiden, ada yang 2019 tetap melanjutkan incumbent dalam konteks ini pemerintahan Jokowi," ungkap dia.


Dampak Positif

Menurut Gun Gun, fenomena ini dapat berdampak positif dalam meningkatkan partisipasi politik. Dia menyebutkan, pengguna internet di Indonesia ada 132 jutaan dari 185 juta pemilih di Pemilu 2019.

"Ini sebenarnya bisa menjadi corong yang sangat potensial dari jumlah 250 juta penduduk Indonesia. Pengguna internet di Indonesia rata-rata 52 persen antara internet user dengan total populasi," ucap Gun Gun.

Dia menambahkan, "menurut saya ini sebuah berkah kontestasi electoral yang terfasilitasi bukan hanya di maindstream media, bukan hanya di face to face informal, tetapi bisa menyapa orang yang berbeda lewat sosial media antara lain lewat hastag," papar dia.

Namun demikian, Gun Gun mengingatkan, media sosial juga selalu berwajah janus atau berwajah dua. Satu sisi bisa menjadi alat kampanye, alat publisitas, alat propaganda. Di sisi lain juga bisa menjadi alat black propaganda, black campaign.

"Itu yang perlu di antisipasi. Akibat ekses dari pelimpahan komunikasi yang terjadi," dia menandaskan.

2. Fenomena di Bidang Teknologi

Di era media sosial seperti saat ini, sebaran hoax (berita bohong) menjadi sesuatu yang sangat serius. Dampaknya dapat mengacaukan masyarakat, tidak hanya di jagat maya, melainkan juga di kehidupan nyata. Banyak kasus buruk yang terjadi akibat hoax, karena banyak oknum yang memang sengaja memanfaatkan hoax sebagai senjata perang mereka. Terlebih di tahun politik seperti saat ini.

Berbagai pihak mencoba secara terus-menerus menanggulangi sebaran hoax. Yang dilakukan pemerintah misalnya, meregulasi melalui UU ITE. Sementara yang dilakukan oleh pengembang platform, mereka berusaha menyediakan fitur pelaporan berita dan penyaringan. Termasuk yang dilakukan WhatsApp beberapa waktu terakhir dengan membatasi fitur Forward.

Melalui riset ini, DailySocial mencoba mendalami karakteristik persebaran hoax dari sudut pandang penggunaan platform. Bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey Platform, kami menanyakan kepada 2032 pengguna smartphone di berbagai penjuru Indonesia tentang sebaran hoax dan apa yang mereka lakukan saat menerima hoax.

Berikut ini beberapa temuan yang didapatkan:

Informasi hoax paling banyak ditemukan di platform Facebook (82,25%), WhatsApp (56,55%), dan Instagram (29,48%).
Sebagian besar responden (44,19%) tidak yakin memiliki kepiawaian dalam mendeteksi berita hoax.
Mayoritas responden (51,03%) dari responden memilih untuk berdiam diri (dan tidak percaya dengan informasi) ketika menemui hoax.
Selain itu masih banyak temuan lain, misalnya frekuensi menerima berita hoax, cara yang paling banyak dilakukan untuk mendeteksi hoax, dan lainnya. Untuk hasil riset selengkapnya, unduh laporan “Hoax Distribution Through Digital Platforms in Indonesia 2018” secara gratis.